Pada pertemuan tahunan Masyarakat Seismologi Amerika di Memphis, Tennessee, tanggal 14 April 2011, para ahli geologi dari penjuru dunia menyajikan analisa awal mereka pada gempa raksasa 9 skala Richter yang baru saja terjadi di Jepang tanggal 11 Maret kemarin. Dari berbagai hasil penelitian tersebut, sebagian ahli geologi yakin kalau mereka harus membuang jauh-jauh teori lama mereka.
Eric Kiser dari Universitas Harvard dan rekan-rekannya mempelajari hasil pengukuran US Transportable Array – sebuah armada 400 seismograf yang disebarkan di sekujur Amerika Utara – ketika energi gempa meriak ke penjuru dunia. Mereka menemukan kalau perilaku sobekan gempa ini jauh berbeda dari gempa lainnya.
Biasanya sebuah gempa subduksi – dimana satu lempeng tektonik menyusup masuk ke bawah lempeng lainnya – merobek satu atau dua arah sepanjang retakan : pada jalur retakan utara-selatan katakanlah, sebuah sobekan ke utara atau selatan atau utara sekaligus selatan di saat bersamaan. Namun Kiser dan rekan-rekannya menemukan kalau gempa Tohoku merobek ke kiri, kanan dan tengah sepanjang retakan seperti letupan kembang api.
Beberapa zona retakan sangat heterogen, dengan jejak-jejak batuan menumpuk seperti aspal keras sementara yang lain begitu licin dan menyusup dengan mudahnya, kata Matt Pritchard dari Universitas Cornell di Ithaca, New York. Mungkin saja retakan Jepang terdiri dari campuran Velcro dan jejak ‘berminyak’ tersebut. Velcro mencegah lempeng-lempeng menyatu seperti di lem dan menyerap koyakan subduksi, namun ketika mereka kalah tempur di bulan Maret (saat terjadinya gempa), jejak berminyak membuat lempeng tergelincir di mana-mana – menyebabkan robekan kompleks dan mendorong pelepasan energi gempa besar-besaran.
Hasil penelitian Kiser mengungkapkan kalau tanggal 11 Maret, letupan energi menyobek empat retakan yang di masa lalu masing-masing telah menyumbangkan gempanya sendiri-sendiri. Lebih dari faktor apapun, sobekan agregat inilah yang menyebabkan ukuran gempa yang fenomenal.
Ia menunjukkan kalau seluruh zona sobekan dimana koyakan kembang api terjadi sekitar 40 ribu km persegi, jauh lebih kecil dari yang seharusnya dihasilkan gempa 9 skala Richter. Memang daerahnya menjadi jauh lebih besar menjadi 100 ribu km persegi jika anda memasukkan daerah yang ditutupi ratusan gempa susulan yang menyerang berminggu-minggu pasca 11 Maret. Seandainya daerah ini sobek sekaligus pada tanggal 11 Maret, gempanya akan dengan mudah melewati angka 9 skala Richter.
Hiroo Kanamori dari Institut Teknologi California di Pasadena mengatakan kalau zona relatif kecil yang tersobek tanggal 11 Maret dapat dibagi menjadi dua zona. Analisisnya menyorot satu zona robekan sepanjang parit Jepang di Samudera Pasifik, yang ia yakini bertanggung jawab atas terjadinya tsunami, dan sobekan kedua terjadi lebih dalam sepanjang jalur sobekan dan lebih dekat ke pantai dan bertanggung jawab atas sebagian besar goncangan. “Kami belum pernah melihat yang seperti ini.”
Takeshi Sagiya dari Universitas Nagoya di Jepang dan Guangfu Shao dari Universitas California di Santa Barbara menyajikan analisanya yang menunjuk ke faktor lain yang menyumbangkan jumlah energi yang terlepas dalam peristiwa ini. Perkiraan terakhir mereka pada seberapa jauh lempeng tektonik tergelincir satu sama lain menunjukkan kalau longsoran maksimumnya adalah 60 meter – gambaran yang begitu besar sehingga semua ilmuan yang dihubungi New Scientist segera menuntut pengujian ulang. Ingsutan yang begitu masif tidak pernah ditemukan dalam sejarah gempa bumi.
Kanamori mengatakan kalau mungkin bahwa struktur di lantai laut, seperti gunung laut, mengunci kedua lempeng sehingga stress menumpuk selama ribuan tahun sebelum ia terlepas dalam satu letupan besar.
Longsoran besar ini terjadi pada sebuah retakan yang bukanlah kandidat gempa raksasa. Menurut teori, lempeng muda yang panas dan cepat gerakannya dipandang jauh lebih mungkin menghasilkan gempa raksasa ketimbang lempeng tua, dingin, padat dan gempal seperti ini. Kerak samudera lepas pantai timur laut Jepang berusia sekitar 140 juta tahun. Kecil sekali kemungkinannya menjadi sumber gempa raksasa, tetapi faktanya ia justru menjadi sumber gempa terbesar dalam sejarah Jepang.
Implikasi temuan ini adalah para ahli geologi harus merumuskan teori baru untuk mekanisme gempa. Sebenarnya beberapa ilmuan memang telah curiga kalau landasan teori mereka salah. Gempa dan tsunami Aceh tahun 2004 kemarin terjadi di kerak berusia 80 hingga 90 juta tahun dan tidak juga termasuk kerak yang cepat bergerak. Namun ia menghasilkan gempa ketiga terbesar yang pernah direkam – 9.2 skala Richter. “Model standar mengatakan kalau usia lempeng yang bertemu dan laju pertemuan akan menentukan besar gempa maksimum yang dapat terjadi di suatu daerah. Ia mengatakan kalau lempeng tua yang bergerak lamban tidak akan menghasilkan gempa lebih dari 7 skala Richter,” kata Emile Okal dari Universitas Northwestern di Evanston, Illonis. “Sekarang saatnya meninggalkan model ini sepenuhnya.”
“Apa yang kami telah sadari sekarang,” kata Pritchard, “adalah bahwa banyak zona subduksi merupakan kandidat gempa 9 skala Richter.” Barbara Romanowicz, direktur Laboratorium Seismologis Universitas California setuju, “Bahkan Jepang yang sudah sangat siap untuk gempa bumi tidak menduga kalau gempanya akan sebesar itu. Ini adalah pelajaran bagi kita. Bukan hanya Jepang: banyak tempat lain di dunia dapat membangkitkan gempa raksasa di saat orang tidak memperhatikannya.”
Sumber :
New Scientist, 23 April 2011, hal. 6-7
www.faktailmiah.com
No comments:
Post a Comment