REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Petunjuk Allah bisa datang dari mana saja. Khusus bagi Ahui, hidayah itu ia peroleh dari serangkaian mimpi.
Pada usia 39, adalah awal pria keturunan Tionghoa itu mengalami serangkaian peristiwa yang akhirnya membawanya ke Islam. Saat itu ia bermimpi memasuki sebuah gedung dan mengaji di dalam gedung tersebut. Tapi ia tak memandang mimpi itu istimewa. Ahui tidak tergelitik. “Saya tidak tahu mengapa bisa mendapat mimpi itu, jadi saya abaikan saja,” katanya.
Selang satu bulan, Ahui kembali bermimpi. Kali ini ia menyuarakan adzan di atas kabah. Seperti mimpi pertama, ia juga tak menghiraukanya. Lagi-lagi, berjarak satu bulan dari mimpi kedua, dalam tidurnya, Ahui melihat dirinya berwudhu dan mengucapkan kalimat syahadat.
Hingga mimpi ketiga, pikiran Ahui tetap tidak terusik. Ia masih menanggap semuanya sekedar kembang tidur.
Ketika mimpi-mimpi itu datang, Ahui tengah mencoba peruntungan dalam wirausaha yang ia rintis sejak muda. Bukan mendapat untung, ia merugi hingga bangkrut. Semua harta bendanya habis dan kondisi Ahui saat itu, tuturnya, sangat menyedihkan.
Pada tahun berikut, tepatnya 1998, Istri Ahui sakit keras. Ia divonis mengidap penyakit kanker stadium 4. Selang beberapa bulan, istrinya pun meninggal.
Sebelum jatuh sakit, rupanya istri Ahui pernah pula bermimpi membawa Al Qur’an lalu kitab itu terjatuh. “Dalam mimpinya, istri saya memasuki sebuah Masjid mengikuti sebuah pengajian. Setelah keluar dari masjid itu istri saya mendapat hadiah sebuah Al-Quran. Ketika membawa Al-Quran tersebut istri saya tersnggol oleh seseorang dan Al-Quran itu jatuh hingga terbelah menjadi dua”, tuturnya.
Ahui tak bisa lagi mengabaikan rentetan peristiwa yang ia alami. Ia mencoba mengaitkan satu demi satu kejadian tersebut. Ahui sempat kebingungan, mengapa di saat kehilangan semua harta dan orang kesayangannya, ia malah mendapatkan mimpi-mimpi yang berkaitan dengan Islam.
“Saat saya mengalami kebangkrutan saya bermimpi mengenai Islam, ketika Istri saya meninggal, isti saya juga mengalami mimpi yang berkaitan dengan Islam. Saya sendiri waktu itu tidak tahu apa itu Islam”, ungkapnya.
Ahui memang tidak pernah mengenal agama dan memeluk agama sejak ia dilahirkan. Keluarganya pun setali tiga uang. Tapi, sebagai persyaratan membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP), Ahui mencatumkan agama Budha. Begitupun dengan keluarganya. “KTP kan harus ada agamanya, ya udah saya cantumkan saja agama Budha,” kata Ahui.
Karena hanya agama KTP, ia pun mengaku tak pernah mengerti dan tahu bagaimana cara beribadah umat Budha. Ahui hanya mengikuti gerakan dan ritual yang dilakukan oleh umat Budha. “Saya melihatat orang membakar dupa, ya saya ikut bakar duha, orang berdoa ya saya ikut berdoa, padahal saya tak tahu bagaimana bacaan doanya”, aku Ahui.
Akhirnya Ahui terdorong untuk mencari tahu tentang Islam. Ia mendatangai ustad dan melakukan diskusi tentang Islam. Bahkan ia mendatangi pula beberapa orang yang ahli agama. Ia juga membaca sedikit-sedikit buku mengenai islam.
Setelah kurang lebih tiga tahun ia mencari tahu tentang Islam, Ahui memutuskan untuk memeluk agama tersebut pada akhir Febuari tahun 2001. Dari sinilah ia mulai menyusun hidup barunya.
Setelah masuk Islam, Ahui mengubah namanya menjadi Muhamad Abdul Ahui. Keputusannya memeluk Islam tak mendapat pertentangan dari keluarga. Sebaliknya, ia malah disambut baik, terutama oleh ibundanya. Ibu Ahui merasa bangga dengan anaknya yang telah memiliki agama dan berubah menjadi lebih baik setelah beragama Islam.
“Mendiang mama saya sangat bangga dengan keputusan saya memeluk agama Islam, mama saya merasa anaknya ini telah mengalami banyak perubahan yang lebih baik” ujarnya. Ahui yang mengaku sebelumnya memiliki sikap buruk seperti urakan, pemarah, tidak sabar berangsur-angsur berubah setelah memeluk islam.
“Temperamen saya yang sulit dikontrol, emosi dan gampang marah mulai bisa saya kendalikan,” tuturnya. Ahui yang sempat benar-benar terpuruk akibat bangkrut, mencoba membuka usaha kembali.
Kini ia berdagang mie ayam di depan Masjid Lautze. Lokasi usahanya yang berada di depan masjid Lautze, membuat Ahui terbiasa mendengar surat-surat pendek dalam bacaan shalat.
Dari sanalah Ahui mulai mengenal bacaan shalat. Masih belum jauh dari mimpi, Ahu mengaku juga mengetahui sebagian bacaan shalat seperti Al-Fatihah dari mimpinya terdahulu. Ahui merasa mimpinya itu sangat nyata sehingga ia masih mengingat bacaan shalat dari mimpi tersebut.
“Lucu memang kalau tahu bagaimana saya bisa tahu bacaan shalat, saya tahu dan mengerti bacaan sahalat ya awalnya dari mimpi saya. Saya juga tidak mengerti kenapa mimpi saya itu bisa seperti benar terjadi di dunia nyata, mungkin itu hidayah untuk saya” ujarnya.
Tak ada kendala dari luar, tantangan terbesar Ahui setelah memeluk Islam justru datang dari dirinya. Ia mengaku masih berat untuk disiplin melaksanakan shalat 5 waktu. Sejak awal masuk Islam shalatnya masih bolong-bolong tak tepat waktu. Ahui hanya rutin melaksankan shalat Isya sementara untuk shalat lainnya masih terbengkalai.
Namun keinginannya untuk sunguh-sungguh memelajari Islam membuat memotivasinya untuk memperbaiki ibadah shalatnya. Akhirnya di tahun 2004 ia mulai rutin melaksanakan shalat 5 waktu. Pertama kali ia menunaikan shalat 5 waktu, ia merasa semua beban di kepalanya hilang. “Pikiran saya tenang seusai melaksanakan shalat 5 waktu. Saya merasakan kedamain dan kenikmatan hati”, ungkapnya.
Ahui tak hanya belajar dan menggali ilmu mengenai Islam untuk dirinya saja. Ahui juga berbagi ilmu dengan para mualaf yang baru masuk Islam. “Saya juga senang bila bisa berbagi kepada sesama mualaf yang ingin tahu mengenai Islam”, ucapnya.
Meski sudah sepuluh tahun Ahui memeluk agama Islam, ia merasa masih ingin terus menggali tentang ilmu islam hingga akhir hayatnya nanti. Ahui juga meyakini bahwa Islam merupakan ajaran terbaik di semesta alam ini. “Islam merupakan ajaran agama terbaik di semesta alam ini, hal ini tak bisa dipungkiri dan di bantah”, pungkasnya. [republika]
Sumber : osolihin.wordpress.com
No comments:
Post a Comment